Anda bisa bayangkan sosok pemuda
ireng sonokeling (hitam banget) berbeha warna pinky (merah muda menyala)? Lalu
pemuda yang salah kodratnya itu nekat berkebaya kenes (anggun)
melenggak-lenggok di jalanan demi seratus-dua ratus rupiah. Entah darimana
Mangunwijaya, yang kerap disapa Romo (orang tua yang dihormati) punya imajinas
liar ini. Ini menjadi titik berangkat pada buku kumpulan cerpen pertama dan
terakhir dari Mangunwijaya. Dikenal sebagai rohaniwan, arsitek dan hamba kaum
papa tak menjadikan Mangunwijaya kehilangan seleranya untuk mengasah empatinya
dengan sastra. Bahkan sastra dia pakai sebagai alatnya untuk berbicara secara
simbolik.
‘Tak Ada Jalan Lain’, demikian
judul pertama cerpen dalam buku ini. Berkisah tentang pemuda yang terpaksa
menjadi perempuan untuk mengamen. Kebimbangan menyelimuti pemuda naas tersebut,
menjadi olok-olok tiap rakyat jelata yang berpapas dengannya. Meminjam
peralatan keperempuannya pada simbok (ibu) dan lonte (pelacur) sahabatnya.
Mangunwijaya memindahkan olok-olok jenaka ini dalam cerpennya. Lumrah itu
terjadi, dalam beberapa hal, kita mendengar yang bernama ‘panggung kerakyatan’
selalu penuh dengan olok-olok dan sindiran.
Baridin namanya, seorang pemuda yang
kebingungan menentukan arah hidup demi masa depannya. Romo Mangun ingin
menggambarkan bahwa kebanyakan pemuda seumuran Baridin memang selalu bingung
dalam menentukan arah hidup mereka. Romo Mangun benar-benar mengambil sisi
sosial dalam cerpen ini. Romo tidak menutupi semua yang terjadi pada Baridin,
ia menuliskan dengan begitu “fulgar” dalam cerita ini.
Kadang ketus, sok tahu, bijak
sekaligus refleksi atas keprihatinan keadaan. Masih ingatkah kita akan film
Nagabonar? Kisah pencopet yang jadi pahlawan republic? Penuh dengan olok-olok
pada kekuasaan yang rakus dan tamak, sekaligus penuh dengan makna simbolik khas
kaum pinggiran yang tak berani mengkritik secara terbuka.
Dalam cerpen ini entah mengapa tidak
dijelaskan mengapa Baridin menjadi seorang pengamen wedok. Ataukah memang tak
ada jalan lain? Kata ini selalu muncul ketika Baridin mengeluh tentang
kehidupan yang begitu memilukan ini.
Bahasa yang digunakan dalam cerpen
ini tidak begitu sulit untuk dimengerti. Banyak menggunakan majas-majas untuk
memperindah kalimat. Romo Mangun juga tidak menghilangkan beberapa kata
daerahnya, seperti stagen, kere, wedok, gali, dan lain-lain.
Konflik pun akhirnya muncul ketika
Baridin tidak tahan dihina-hina oleh banyak orang yang ia jumpai. Alangkah senangnya
andai tadi tiba-tiba disambar colt atau
ditusuk penjambret, tepat terkena jantungnya. Ujar Baridin. Hal ini menunjukan
bahwa keterpaksaan Baridin untuk melakukan pekerjaan ini, dari pada menganggur dan
apa lagi sampai mencari nafkah yang tidak halal, amit-amit.
Niat yang begitu mulia dari Baridin
meskipun ia harus mempertaruhkan harga dirinya dan harus rela bergaul dengan
para pelacur, meskipun hasilnya tidak begitu baik. Perjuangan yang ia lakukan
tidak sebanding dengan hasil yang ia dapatkan.
Dalam hatinya memberontak, semua
yang dilakukan untuk ibunya hanya sia-sia. Ia pun membentak kepada sahabat
pelacurnya dan berkata “Sudah setengah hari bergoyang pantat Cuma sekian? Kau
lebih kere dariku”. Kehidupan pelacur (sebut saja Ruyem) yang begitu
liar ditampilkan oleh Romo Mangun secara jelas. Ruyem membuka resleting celana
Noroyononya dan di genggam burung Baridin sampai menjerit. Itu dilakukan agar
Baridin tersadar bahwa sebagai orang yang tidak punya, inilah kedamaian yang
sesungguhnya kita rasakan ketika terbiasa dan menikmatinya. Ruyem pun
memberikan uang seribu dan menyuruh Baridin pulang untuk memberikannya kepada
ibunya.
Satu hal yang membuat saya bingung
adalah makna dari kata “karbol”. Ruyem berkata “O, Baridin, Baridin, Baridol!
Sebetulnya kau harus dicekoki karbol”. Saat Baridin memberikan uang kepada
ibunya, dia berkata “Harus saya cuci dulu dengan karbol. Nanti seisi rumah
dengan segala cindil-nya terena penyakit kotor Ruyem. Apakah “karbol” itu
sebuah hinaan bahwa setiap orang yang berhubungan dengan Ruyem harus
dibersihkan menggunakan “karbol” adar bersih dari sifat kotornya?
Perkataan itu membuat Baridin benci
terhadap dirinya, mengapa ia tak membela si Ruyem itu. Tiba-tiba Baridin terasa
sakit hatinya oleh kesadaran bahwa kedamaian bagi orang punya dan tak punya
memang tidak sama akarnya. Cerita yang begitu menggugah hati bagaimana
permulaan atau awal perjalanan hidup seseorang yang begitu berperan dalam mencapai
sebuah kedamaian hidup.
SUMBER : http://resensikumpulancerpen.blogspot.com/