Entah kenapa saya cenderung untuk memulai cerpen dengan menyampaikan
sebuah permasalahan lebih dulu atau bisa saja dengan memancing akan
adanya sebuah permasalahan. Contohnya kalau secara lisan, “Eh, kamu tahu
tidak tentang seorang ibu yang sangat rindu dengan anaknya sendiri?”
Mungkin pertanyaan di atas itu biasa saja. Tapi coba perhatikan,
banyak kata yang bisa dijelaskan kemudian. Bagaimana kondisi ibunya
tersebut? Ada apa antara ibu dan anak?
Contoh di atas saya ambil dari judul cerpen “Jempol Kaki Ibu Ada di
Televisi”. Maaf, ini bukan narsis. Soalnya itu cerpen saya sendiri.
Bukankah dengan begitu akan lebih mudah untuk menjelaskanya?
Mengawali cerpen dengan memancing sebuah permasalahan bagi saya akan
berhasil apabila permasalahan itu sendiri sesegera mungkin dimunculkan.
Bukan sebaliknya, menyimpan permasalahan tersebut di akhir cerita.
Kenapa itu saya lakukan?
Saya meyakini bahwa seorang pembaca pada awalnya hanya melakukan
proses scaning. Semacam kerja alat scanner. Jika dalam proses scaning
tersebut ia merasa menemukan sebuah objek yang menarik bagi dirinya, ia
akan menempatkan dirinya sebagai pembaca yang aktif. Ia akan mencari
jawaban atau alasan cerita kita. Bahkan sangat mungkin si pembaca akan
memvonis baik atau jelek karya kita. Itulah kenapa saya juga meyakini
bahwa pembaca adalah seorang kritikus yang patut didengar ketika ia
mulai mengeluh. Jadi jangan marah. Saya cenderung banyak belajar dari
keluhan-keluhan itu. Tapi bukan berarti setiap keluhan harus membuat
kita pusing.
Hemat saya, keluhan seseorang itu bisa ditelusuri lebih jauh.
Pertama, apakah keluhannya itu logis? Kedua, cari informasi jenis bacaan
yang ia sukai. Seseorang bisa saja mengatakan cerpen si anu jelek.
Ketika ditanyakan alasannya, ia tak bisa menyebutkan bagian-bagian jelek
yang dimaksud. Anehkan? Andainya pun bisa, ia menyebut sesuatu yang
sebenarnya adalah kekuatan cerpen tersebut. Nah, ada baiknya juga
mengetahui jenis bacaan yang ia sukai. Kenapa ini juga harus dilakukan?
Seseorang yang telah menyukai sesuatu, berapa persenkah ia bisa
memberikan rasa sukanya kepada cerpen yang lain? Itu kalau si pembaca
sudah sampai pada tingkatan fanatik. Masih ada lagi yang lain. Hobi
bacaan seseorang kadangkala mempengaruhi juga terhadap cara ia memandang
sebuah karya. Entah itu soal aliran, pengarangnya dan lain-lain. Nah,
apakah kita memiliki cara berpikir yang sama? Atau boleh tidak sama asal
saling terbuka.
Baiklah, jika cerpen sudah dibuka dengan sebuah permasalahan atau
memancing permasalahan, maka di situ saya akan bermain-main dengan
penceritaan. Maksudnya saya akan bercerita untuk mendeskripsikan masalah
tersebut. Deskripsi itu penting, Bagaimana kondisi si ibu dan anak?
Jika ibunya bersedih, kenapa ia bersedih? Jika ibunya lantas menangis,
kenapa ia harus menangis? Disitulah saya sedang menceritakannya.
Bukankah ini cerita? Bagaimana mungkin cerita kita akan dipercaya kalau
banyak hal-hal janggal di dalamnya. Rasa sedih yang tak terjelaskan
membuat pembaca akan bertanya-tanya bahkan sedikitpun tak merasakan apa
yang ingin kita sampaikan.
Soal pemilihan kata atau kalimat untuk membuka sebuah cerita, itu
masuk dalam wilayah keterampilan seseorang. Seseorang tidak mungkin bisa
mengendarai sepeda motor tanpa ada proses berlatih. Proses itulah yang
dibutuhkan. Rasa cemas, takut, khawatir, kecewa bisa saja dialami
seseorang ketika pertama kali menyalakan sepeda motor. Baru dinyalakan,
gugupnya bukan main. Bagaimana kalau sudah berjalan, pasti dibenaknya
terbayang tentang jatuh, sakit, berdarah. Saat-saat seperti itulah yang
harus dilewati. Jika ia terpaku dengan pikirannya itu, kapan ia akan
bisa. Seorang pengarang, bagi saya, harus melawan rasa malas untuk rajin
membaca karangan orang lain. Cara yang paling praktis hanya itu,
mengamati masing-masing pengarang dalam membuka ceritanya. Pilih
pengarang mana yang kita suka. Bisa tidak kita menirunya? (Bukan njiplak
lo). Biarlah awalnya meniru, toh proses juga yang akan menuntun kita.
Bahkan kita sendiri tidak harus menyadari bahwa kita telah memiliki
style tersendiri. Biasanya orang yang mengatakannya kepada kita. Apakah
itu perlu? Untuk bersenang-senang memang iya. Tapi lebih menyenangkan
lagi kalau kita tetap bisa menulis dan terus saja menulis.
Sepertinya ini akan bersambung lagi….saya akan berbicara tentang
“unik” bagi saya ini juga penting. Kelak ini akan menjelaskan cerita
kita berbeda dengan cerita orang lain. Meski tema yang diangkat sama.
Tahukah Anda kenapa tokoh ibu dalam cerpen saya begitu merindukan
anaknya? Ada masa lalu yang unik terjadi antara ibu dan anak. Dulu,
sewaktu anaknya masih bayi, si ibu pernah menyusui anaknya itu dengan
jempol kaki. Oke…mudahan ada yang menginginkan tulisan ini berlanjut.
SUMBER : https://hariesaja.wordpress.com/category/tips-mengarang-cerpen/